Manusia sangat punya kesenangan untuk bertengkar dan berpecah-belah satu sama lainnya.
Manusia sangat suka membela golongannya sendiri, partainya sendiri, alirannya sendiri, kepentingannya sendiri.
Pembelaan
atas golongannya sendiri itu bisa berpijak pada keyakinan atas
kebenaran golongannya atau atas pilihan ideologi kelompoknya atau yang
banyak adalah karena digolongannya itu terletak mata pencahariannya,
terletak pemenuhan atas kepentingan karier dan keuntungan² pribadi
lainnya.
Diantara yang berkecenderungan terakhir itu ada yang karena
keterpaksaan sebab tidak ada pilihan lain kecuali loyalitas tunggal,
atau ada yang karena selalu merasa tidak cukup, alias karena
keserakahan.
Manusia sangat hobi makan 'ananiyah' : Keakuan, kekamian, egoisme, egosentrisme.
Tidak hanya manusia² pemalu saja yang begini. Para manusia tokoh dan kelas pemimpin pun rata² begini. Ini wataknya.
Manusia mengkotakkan dirinya kalau tidakdi PPP ya di Golkar atau PDI.
Manusia
mengurung dirinya kalau tidak di Syiah y di Sunni. Di Pekalongan atau
di Bangil dan Jakarta kedua golongan ini sedang asyik²nya bertengkar,
sampai sesekali hampir ke pergulatan fisik.
Menapaki Gerbang langit
Sabtu, 21 April 2012
Membeli Fitnah
Benarkah ada sanak saudaramu yang harus berkorban sedemikian bear,
sampai pun nyawanya, demi keserakahan sejumlah orang yang bahkan tak
dikenalnya terhadap sekati upah?
Benarkah anggota keluarga Anda harus membayar sebegitu mahal kepada pentas primordialisme yang sempit? Demi fanatisme dan taqlid yang sebuta-butanya. Atau bahkan demi pertarungan yang hanya berisi kebodohan, nafsu dan emosi yang tidak jernih arahnya, serta ketidakpahaman dan ketergesaan.
Maka kecemasan yang saya alami tidak hanya terhadap kemungkinan chaos yang heboh, tapi juga terhadap kebebalan yang 'tenang'.
Diam-diam, sesungguhnya, jauh di lubuk jiwa saya terdapat juga rasa asyik menyaksikan atau mengalami benturan dan peperangan. Tapi untuk apa dulu? Bersediakah anda mengalami itu semua untuk suatu kesibukan nasional satu bulan yang pada hakekat dan kenyataannya tidak ada keterkaitan yang realistis dengan perjuangan nasib Anda sendiri sebagai rakyat kecl?
Bertamulah ke rumah orang-orang pandai. Para dosen, pastur atau kiai. Bertanyalah kepadanya apakah gegap gempita yang sedang kita selenggarakan hari-hari ini memiliki prospek yang nyata terhadap impian perubahan yang sesungguhnya, yang nasib struktural rakyat bergantung padanya?
Maka bergembiralah dengan semua pesta itu, namun dengan sanggup melakukan pengaturan takaran. Pacing. Bukan menyediakan pasak yang jauh lebih besar dibanding tiang rapuh yang tersedia sekarang ini.
Ada anak-anak muda 'minta izin' ----anehnya –kepada saya. “Cak, biar deh saya dipenjara, asalkan puas hati ini. Ayolah kapan kita serbu dan baka..!”
Benarkah anggota keluarga Anda harus membayar sebegitu mahal kepada pentas primordialisme yang sempit? Demi fanatisme dan taqlid yang sebuta-butanya. Atau bahkan demi pertarungan yang hanya berisi kebodohan, nafsu dan emosi yang tidak jernih arahnya, serta ketidakpahaman dan ketergesaan.
Maka kecemasan yang saya alami tidak hanya terhadap kemungkinan chaos yang heboh, tapi juga terhadap kebebalan yang 'tenang'.
Diam-diam, sesungguhnya, jauh di lubuk jiwa saya terdapat juga rasa asyik menyaksikan atau mengalami benturan dan peperangan. Tapi untuk apa dulu? Bersediakah anda mengalami itu semua untuk suatu kesibukan nasional satu bulan yang pada hakekat dan kenyataannya tidak ada keterkaitan yang realistis dengan perjuangan nasib Anda sendiri sebagai rakyat kecl?
Bertamulah ke rumah orang-orang pandai. Para dosen, pastur atau kiai. Bertanyalah kepadanya apakah gegap gempita yang sedang kita selenggarakan hari-hari ini memiliki prospek yang nyata terhadap impian perubahan yang sesungguhnya, yang nasib struktural rakyat bergantung padanya?
Maka bergembiralah dengan semua pesta itu, namun dengan sanggup melakukan pengaturan takaran. Pacing. Bukan menyediakan pasak yang jauh lebih besar dibanding tiang rapuh yang tersedia sekarang ini.
Ada anak-anak muda 'minta izin' ----anehnya –kepada saya. “Cak, biar deh saya dipenjara, asalkan puas hati ini. Ayolah kapan kita serbu dan baka..!”
Syair Mahasiswa Menjambret
Sebab tergoda oleh betapa seru berita di koran serta oleh pengujian para
tetangga, bertanyalah aku kepada penyairku, “Akir-akhir ini orang makin
ribut tentang pelajaran dan mahasiswa kriminal. Aku bertanya benarkah
puisimu tak membutuhkan tema semacam itu, atau tidakkah soal-soal
seperti itu memerlukan puisi?”
“Aku tak paham apa yang aneh”, berkata penyairku, “Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret, kalau pelajar sudah berani mencuri odol, dan sikat gigi, kalau para calon pemimpin bangsa telah memiliki nyali untuk mencopet jam tangan dan mengutil sepatu: tak kumengerti apa yang perlu diherankan?”
Bukan. Bukan soal heran dan tak heran. Kami orang-orang awam terlalu sering dikagetkan oleh perkawinan antara dua hal yang semestinya jangan pernah bersentuhan.
Antara dunia penjambretan dengan dunia dunia keterpelajaran terbentang jarak yang bukan saja amat jauh, tapi juga bersungguh-sungguh. Kalau ada dua nilai yang saling bertentangan, namun berhasil dikawinkan secara damai oleh sejarah dan perilaku manusia: hanya penyair tuli yang tak tergoda untuk menuangkannya.
“Demi apa sehingga engkau menganjurkan puisi bergaul dengan hal-hal picisan?”, penyairku tertawa, “Para kaum terpelajar yang baru belajar menapakkan kaki, yang keterampilannya tanggung ? menggeledah tas teman kostnya, melarikan motor tetangganya, merencanakan penodongan,
perampokan, pembunuhan ? belum pantas dipuisikan.
Dunia kepenyairan tidak sedemikian rendah derajatnya.
“Aku tak paham apa yang aneh”, berkata penyairku, “Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret, kalau pelajar sudah berani mencuri odol, dan sikat gigi, kalau para calon pemimpin bangsa telah memiliki nyali untuk mencopet jam tangan dan mengutil sepatu: tak kumengerti apa yang perlu diherankan?”
Bukan. Bukan soal heran dan tak heran. Kami orang-orang awam terlalu sering dikagetkan oleh perkawinan antara dua hal yang semestinya jangan pernah bersentuhan.
Antara dunia penjambretan dengan dunia dunia keterpelajaran terbentang jarak yang bukan saja amat jauh, tapi juga bersungguh-sungguh. Kalau ada dua nilai yang saling bertentangan, namun berhasil dikawinkan secara damai oleh sejarah dan perilaku manusia: hanya penyair tuli yang tak tergoda untuk menuangkannya.
“Demi apa sehingga engkau menganjurkan puisi bergaul dengan hal-hal picisan?”, penyairku tertawa, “Para kaum terpelajar yang baru belajar menapakkan kaki, yang keterampilannya tanggung ? menggeledah tas teman kostnya, melarikan motor tetangganya, merencanakan penodongan,
perampokan, pembunuhan ? belum pantas dipuisikan.
Dunia kepenyairan tidak sedemikian rendah derajatnya.
Langganan:
Postingan (Atom)